Wednesday, 3 December 2014

Jangan Panggil Papa!

Pada tahun 2009, saya harus membuat keputusan yang sangat berat, yaitu saya harus rela berpisah sementara (yang bagi saya lama sekali) dengan anak-anak saya. Saya harus mendampingi suami yang bertugas di Bali, tepatnya di Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Di sini saya juga bekerja dan harus mengajukan mutasi dari Mojokerto ke Negara. Alhamdulillah bisa.

Kami putuskan anak-anak dititipkan ke Mbah Uti (nenek)-nya. Kebetulan Ibu saya tinggal bersama Bulik (adiknya Ibu), nenek saya, dan adik saya. Yang terpenting, mereka bersedia dititipi anak-anak saya. Agar tidak begitu merepotkan kami menitipkan si sulung Dani (8 tahun) dan si bungsu Ai (2 tahun), sementara anak nomor 2, Ony (6 tahun), ikut kami ke Bali. Pertimbangan kami si anak nomor 2 ini aktif sekali, dan anak
 yang nomor 3 daya tahan tubuhnya kurang bagus. Kami khawatir dia tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Apalagi rencana kami, saya di Bali hanya 1 tahun saja, setelah itu saya akan mengajukan mutasi ke Tulungagung saja.

Berpisah dengan 2 anak saya, ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Saya yang sudah terbiasa berkumpul dengan anak-anak, merasa ada sesuatu yang hilang. Sungguh suatu siksaan bagi saya ketika malam hari sepulang dari tempat kerja. Saya kangen suara ribut ketiga anak saya. Saya kangen rengekan si kecil yang minta dibuatkan susu. Saya kangen sekali. Terkadang kami bertiga sambil tiduran mengenang cerita-cerita lucu anak-anak sambil melihat foto-foto dan video yang kami save di handphone. Tidak terasa air mata selalu meleleh, yang diikuti rasa rindu sampai kami tertidur dan berharap bisa bermimpi bersama-sama lagi.

Sebulan sekali saya selalu menyempatkan diri untuk pulang menjenguk 2 anak saya. Saat yang ditunggu-tunggu adalah sambutan kedua anak saya ketika saya sampai di rumah ibu saya. Kami berpelukan melepas kerinduan. Namun, ada satu hal yang sangat menusuk hati saya, yaitu saat si bungsu memanggil saya dengan sebutan "papa". Ya, saya yang seharusnya dipanggilnya "mama" dipanggil dengan sebutan "papa". Hal ini terjadi bisa jadi karena kami hanya berhubungan via telepon saja, sehingga Adik Ai jadi bingung membedakan "mama" atau "papa".

Sudah bisa ditebak, saat paling merana bagi saya adalah saat saya harus segera kembali ke Bali setelah beberapa hari melepas kerinduan dengan mereka. Air mata ini tidak pernah berhenti keluar sampai saya menginjak kota Surabaya. Biasanya saya menumpang kereta api jurusanTulungagung-Surabaya, kemudian lanjut Surabaya-Banyuwangi yang harus berganti kereta di Surabaya. 

Akhirnya saya hanya bertahan 10 bulan saja. Saya dan suami harus (segera) mengambil keputusan bahwa saya harus segera pulang dan berkumpul dengan anak-anak (kembali). Menurut suami saya, anak-anak harus bertumbuh dan berkembang dengan didampingi kedua orangtuanya. Minimal harus didampingi ibunya. Sedangkan suami, biarlah suami saya yang sementara berpisah dengan keluarga tercinta untuk mencari nafkah, karena memang sudah kewajiban seorang laki-laki terhadap keluarganya. Dan, saya tidak mau lagi dipanggil "papa". Sakit rasanya, sungguh sakit.

Bulan Mei 2010 saya (dan Ony) pulang ke Tulungagung dan kembali berkumpul dengan anak-anak. Setelah kami berkumpul, Adik Ai berangsur-angsur pulih kepercayaannya kepada saya. Karena selama 10 bulan saya tinggal, dia selalu bersama Tantenya (adik saya), sehingga untuk memulihkan kepercayaannya kembali, saya butuh waktu yang agak lama. Kurang lebih 1 bulan setelah saya pulang, tepatnya bulan Juni 2010 si Adik Ai sudah kembali memanggil saya dengan sebutan "mama". Tapi butuh waktu 1 tahun untuk Adik Ai bisa mau kembali tidur dengan saya.
Ya Allah, saya sangat merasa bersalah telah meninggalkan dia selama 10 bulan. Sekarang, saya sangat bersyukur, saya selalu ada ketika anak-anak membutuhkan saya. Tinggal satu harapan kami, semoga keluarga kami kembali bersatu dalam kebahagiaan.

*****

Tulisan ini diikutsertakan dalam
*****

20 comments:

  1. Kisah yang haru, eh bunda asli Tulungagung atau gimana? Wah bertetangga neh kita, saya dari Trenggalek tetapi sekarang merantau ke PUlau Dollar...

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah dari Trenggalek, deket dong?
      iya saya asli Tulungagung, cuma selama ini merantau, dan sekarang sudah menginjak tahun ke-4 di sini
      pulang Trenggalek berapa bulan sekali?

      Delete
  2. Jadi inget Mamaku pernah cerita kalau dulu pas kecil aku pernah lupa sama mamaku krn pas mamaku kuliah aku tinggalnya sama nenek, pdhal selama pisah mamaku gak bs berhenti mikirin aku.. Makanya kuliahnya lama kelar..
    Goodluck yaa giveaway-nya.. ♥ ♥ ♥

    ReplyDelete
    Replies
    1. itulah pentingnya kehadiran ortu di saat tumbuh kembang anaknya, karena seiring dengan usia anak mereka juga akan semakin mandiri dan semakin menjauh dari kita ortunya, itu sudah menjadi kodrat

      makasiihh :)

      Delete
  3. Bisa sampai bingung gitu ya, mbak... :(
    Tp syukurlah sudah kembali berkumpul dengan anak2. Semoga segera berkumpul dengan seluruh anggota keluarga ya, mbak. Biar tambah hepi ^^, aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener Mbak, sediihhh n sakitnya tuh di siniiii :(
      Alhamdulillah Mbak, saya sudah kapok meninggalkan mereka lagi, hehe
      aamiin...makasihhh doanya :)

      Delete
  4. Aku dari tahun 1999 sampai sekarang juga jarang kumpul keluarga :-(
    Pulang waktu lebaran aja mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. dulu waktu saya kuliah juga gitu Mas, sebulan atau dua bulan baru bisa pulang :(

      Delete
  5. Alhamdulillah dari saya bayi dan sampai besar seperti ini saya selalu kumpul sama yg namanya keluarga :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmmm.....nyaman banget itu Mbak :)

      Delete
    2. Alhamdulillah mbak, jadi kalau di tinggal2 sama mamah kemana2 tuh suka ga biasa aja hehe

      Delete
    3. anak mama beneran nih mbak...kayak anak saya nomor 2 tuh, ditinggal bentar aja sudah nelpon, "Mama puang jam berapa?"

      Delete
  6. Sakit sekali berpisah dg anak mak...sy jg pernah merasakannya wkt msh usia 1,5 bln sp 7 bln...hari2 terasa berat dan akhirnya sy putuskan utk berhenti kerja dan mendampinginya sp skrg..
    Terimakasih sdh berbagi kisah utk meramaikan GA saya ya mak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul Mak, rasanya sakit dan merasa sangat bersalah banget ya Mak...
      sama2 Mak Iro, semoga berkenan :)

      Delete
  7. iya mba, sedih sekali kalo pisah sama anak. satu dua jam aja udah merasa kehilangan apalagi berbulan-bulan

    ReplyDelete
    Replies
    1. sedihhh banget Mbak, kalo inget2 cerita di atas saya pun masih suka nangis :(

      Delete
  8. Anak yang sering dipisahkn dgn orangtuanya, apalagi dalam waktu yang lama, (bertahaun-tahun) akan berdampak pd hubungn batin dan psikologis. Untung, mbak Niink cuma berpisah 10 bulan saja. Memang serba salah ya. Di satu sisi, kita harus mendampingi suami,bertugas nun jauh disana, tp disisi lain, anaka-anak2 harus kita tinggal. ouh..itu adalh masa2 dilema ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener banget mbak Eka.... dari dilema itu harus segera diputuskan agar tidak berlarut-larut..
      harus memilih 1 dari 2 keputusan yang sama2 beratnya... :)

      Delete

Yuuk saling berbagi.
Saya menunggu komentar dan saran dari Teman-teman.
Terima kasih.