Saya berhijab mulai tahun 1994, beberapa bulan setelah saya diwisuda.
Saat itu hijab belum nge
trend seperti sekarang. Jaman saya SMA saja dilarang pakai hijab ke sekolah. Waktu saya kuliah pun muslimah yang berhijab adalah kalangan minoritas. Beberapa teman saya yang berasal dari kota santri Gresik hanya mengenakan jilbab saat kuliah saja, di luar itu mereka berpakaian biasa tanpa jilbab.
Sulit Mendapat Pekerjaan?
Bisa jadi pendapat itu ada benarnya. Itulah yang saya alami.
Layaknya seorang lulusan sebuah perguruan tinggi, saya pun ingin segera bekerja dengan gaji yang tinggi, lalu bisa membantu orangtua. Saya termasuk yang harus bersabar dalam waktu yang agak lama untuk mendapatkan pekerjaan tetap.
Setiap proses rekrutmen yang saya ikuti, di saat wawancara terakhir selalu ada pertanyaan
, "bagaimana jika Anda harus melepas jilbab Anda saat Anda sudah diterima bekerja di sini?"
Sampai-sampai saya merasa trauma untuk mengikuti proses rekrutmen.
Entahlah mengapa saat itu saya tidak mau menjadi guru atau dosen, saya ingin bekerja di kantor.
Sambil mengisi waktu luang saya mengajar les privat jenjang SMP/SMA. Bermula dari hanya 1 orang berkembang menjadi 10 orang, sehingga waktu saya tidak banyak yang kosong lagi. Pagi hari biasanya saya gunakan untuk mengikuti tes-tes rekrutmen, sore harinya saya mengajar les privat. Rutinitas ini saya jalani kurang lebih 2 tahun. Meskipun beberapa murid saya adalah etnis cina atau beragama lain, mereka tidak mempermasalahkan hijab saya. Yang penting saya bisa transfer ilmu dengan baik, dan mereka menyukai gaya mengajar saya.
Sampai suatu saat saya mengikuti rekrutmen besar-besaran sebuah Bimbel terbesar di Indonesia saat itu, dimana salah satu syaratnya harus bersedia ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia. Tahapan demi tahapan saya lalui dengan lancar, sampai akhirnya saya harus menandatangani sebuah surat keputusan yang menetapkan bahwa saya ditempatkan di kota Denpasar, Bali.
Dikirim ke Pulau Bali
Sebelum keberangkatan saya merasa gamang. Saya yang berhijab ini harus pergi ke Pulau Bali yang mayoritas beragama Hindu? Karena saya belum pernah ke Bali, saya hanya bisa membayangkan kondisi Pulau Bali berdasarkan imajinasi saya sendiri.
Namun karena tekad saya sudah bulat, akhirnya berangkatlah saya ke Pulau Bali dengan penerbangan Surabaya-Denpasar. Saat itu saya diantar Ibu dan salah satu teman kos saya di Surabaya sampai di Bandara Juanda. Lumayan naik pesawat gratis, karena semua sudah dibiayai kantor.
Keberangkatan saya ke Bali ditemani seorang teman saya yang berangkat dari Jogja yang transit di Surabaya, dan selanjutnya kami satu pesawat dari Surabaya ke Bali.
Karena penerbangan sempat
delay kami tiba di Bandara Ngurah Rai Bali sudah tengah malam. Selanjutnya kami naik taksi menuju ke alamat kantor cabang tempat kami ditempatkan. Beruntung di sana sudah menunggu OB yang memang sudah menunggu kedatangan kami sejak sore tadi.
Inilah saat pertama saya menginjakkan kaki di Pulau Bali, yaitu bulan Maret 1997.
Bangunan-bangunan khas Bali, Pura, bau harum bunga dan suara musik mengalun dari beberapa
Banjar. Ya! Saya sudah tiba di Bali.
Singkat cerita, mulailah saya menjalani hari-hari saya menjadi karyawan PT Primagama Bimbingan Belajar, sebagai I-Smart (Tentor) Tetap. Di sini saya bertugas membantu pemasaran, akademik, dan keuangan. Tugas utama saya adalah mengajar. Ya akhirnya menjadi pengajar juga.
Pada saat itu masih ada 3 Cabang di kota Denpasar, dimana saya juga harus
moving mengajar di 3 tempat tersebut.
I Love Bali
Sedikit demi sedikit kegamangan saya berangsur-angsur hilang.
Meskipun saya benar-benar menjadi kaum minoritas,
karena saya satu-satunya karyawan dan satu-satunya tentor yang berhijab, semua
welcome dan menghormati saya.
Meskipun ketika saya harus ceramah dalam rangka
even pemasaran ke sekolah-sekolah negeri yang mayoritas bergama Hindu, tidak sedikit pun saya merasa canggung dengan hijab saya. Saat itu kami melakukan pemasaran hampir di seluruh kabupaten di Bali, seperti Tabanan, Klungkung, Gianyar, Karangasem dan Singaraja. Bahkan meluas sampai ke Mataram, NTB.
Sesekali saat saya belanja di Pasar Tradisional pun saya merasa nyaman-nyaman saja, paling ada beberapa orang melihat dengan tatapan sedikit aneh melihat kerudung saya.
Justru dengan saya berhijab, saya merasa aman dan nyaman. Misalnya ketika saya menghadiri undangan upacara pernikahan teman. Saya otomatis ditunjukkan tempat masakan khusus muslim yang rata-rata terbuat dari ikan laut dan halal.
 |
Foto kenangan jadul saat ke Bedugul, Bali. |
Saya merasa betah tinggal di Bali. Di sini benar-benar saya merasakan tingginya toleransi. Kami berbeda suku dan agama, namun kami bisa hidup berdampingan secara damai.
Sampai akhirnya saya menikah, suami saya orang Jogja tetapi bekerja di Bali, dan
si Mbarep pun lahir di Bali.
Hijab dan Surat Tilang
Di Denpasar saat itu (tahun 1997 - tahun 2002), pengendara motor yang memakai baju adat tidak diwajibkan mengenakan helm pengaman, termasuk pengendara yang memakai kopyah atau berkerudung. Tapi hal ini tentu saja menjadi pengecualian bagi saya. Meskipun tidak wajib pakai helm saya selalu mengendarai motor dan berhelm standar SNI
lho, hehe.
Ada satu cerita lucu tentang hijab saya.
Waktu itu tahun 2001, dimana
si Mbarep masih berusia 2 bulan. Kakak Ipar dan Ibu Mertua saya berkunjung ke Denpasar.
Suatu saat saya mengajak pergi kakak saya naik motor. Tiba-tiba di dekat lampu merah, saya
disemprit Pak Polisi. Saya kaget, kenapa saya disuruh berhenti? Padahal jelas saya memakai helm. Ternyata
eh ternyata, kakak saya yang lupa tidak pakai helm. Kakak saya juga heran, kenapa dia bisa lupa. Ya namanya juga manusia, lupa itu sudah biasa.
Saat itu kakak saya belum berhijab, jadi harus mengenakan helm ketika berkendara sepeda motor. Akhirnya kami kena tilang.
Dan pak Polisinya bilang,
"Harusnya yang pakai helm adalah ibu ini.", kata pak Polisi sambil menunjuk kakak saya.
"Mbak kan sudah pakai kerudung, tidak usah pakai helm tidak apa-apa.", lanjut Pak Polisi itu lagi.
Saya sempat bengong!
Ada lagi, ketika saya jalan-jalan di Tanah Lot, saya ketemu bule cewek. Kami berpapasan, tiba-tiba dia berhenti di hadapan saya, lalu memegangi kerudung saya dan berkata,
"You look so nice". Saya hanya bisa menjawab,
"Thank You." Perasaan hanya dia
deh yang bilang saya
nice, hihihi.
Itulah sedikit cerita tentang saya dan hijab. Yang jelas saya merasa lebih nyaman dan aman. Selain memang kewajiban bagi seorang muslimah, hijab merupakan identitas bagi saya sebagai seorang muslimah dimana pun saya berada.
-----------------------------------
*****