Showing posts with label Bali. Show all posts
Showing posts with label Bali. Show all posts

Saturday, 30 May 2015

Mencoba Peruntungan di International Food Festival Lippo Mall Kuta Bali

Kali ini saya mau bercerita tentang si Papa alias suami saya  yang mencoba peruntungan di International Food Festival tanggal 8-17 Mei 2015 di Lippo Mall Kuta, Bali.

Kenapa "mencari peruntungan" kata-kata yang saya pilih?
Karena si Papa memang sama sekali belum pernah membuka usaha kulineran. Selama ini usaha yang digelutinya berkisar di dunia marketing yaitu menjadi manager di salah satu lembaga pendidikan di Bali, menjalankan proyek EO (Event Organizer), mengantar turis (kadang juga teman-teman atau saudara) keliling Bali, dan ikut menjadi anggota komunitas jual-beli di Bali.

Sementara kalau kongkow-kongkow Beliau lebih suka nongkrong bareng klub motor (bukan geng motor lho ya) CB Bali, yang menurut informasi, CB Club ini merupakan komunitas biker yang mengutamakan sopan santun di jalan, kebersamaan dan solidaritas antar anggotanya, dan cabangnya ada dimana-mana.

Sumber : https://www.facebook.com/lippomall.kuta/photos/a.574690625943349.1073741834.561097720635973/851962301549512/?type=1&theater
Hal ini berawal ketika suami saya ditelepon temannya yang merupakan salah satu panitia di event "Spring Happening" bahwa dia menawarkan sewa salah satu stand di ajang International Food Festival yang merupakan salah satu dari rangkaian acara tersebut.

Akhirnya suami bekerjasama dengan beberapa orang teman mulai mencoba bisnis kulineran, dengan harapan siapa tahu bisnis ini bisa berkelanjutan. Setelah mencari menu yang kira-kira cocok di lidah pembeli, maka dipilihlah menu Mi Ramen.

Uji coba masakan pun dilakukan, dan terciptalah "Mi Ramen GRECO". 
GRECO itu kepanjangannya adalah "Great Corolla". Ya, itu nama mobil kesayangan suami saya.
Tampilan Mi Ramen "Greco" plus Teh Tarik
hanya 25K saja.
Dan inilah standing banner yang dipasang di depan stand.
Event yang digelar selama 10 hari ini benar-benar pengalaman yang berkesan. Setiap hari suami dan teman harus belanja keluar masuk pasar dan supermarket, harus melayani pengunjung dengan baik. Alhasil setiap hari bbm-an ke saya laporan hasil penjualan mi ramennya. Di hari sepi (hari biasa, bukan weekend) minimal laku 14 porsi. Di hari-hari libur atau menjelang weekend lumayan bisa laku sampai 57 porsi sehari. Alhamdulillah sebuah pengalaman pertama yang sangat berharga bagi suami saya. Saya pun jadi ikut-ikutan ingin mencoba peruntungan ini. Semoga keinginan saya diijabah Allah, aamiin.
















Itulah sekelumit cerita tentang "Mencoba peruntungan di International Food Festival". Sudah saatnya kita keluar dari kampret zone (comfort zone maksudnya). Kok gak dari dulu-dulu ya? hehehe

Cerita selanjutnya adalah pembukaan "Greco Warung Makan" dan "Greco Angkringan". Sampai ketemu lagi di postingan berikutnya. Soalnya belum ada kiriman foto dan report dari si Papa. hihihi.
*****

Saturday, 7 March 2015

[Suka-Duka Hijabku] Ketika Harus Bekerja di Pulau Bali

Saya berhijab mulai tahun 1994, beberapa bulan setelah saya diwisuda.
Saat itu hijab belum ngetrend seperti sekarang. Jaman saya SMA saja dilarang pakai hijab ke sekolah. Waktu saya kuliah pun muslimah yang berhijab adalah kalangan minoritas. Beberapa teman saya yang berasal dari kota santri Gresik hanya mengenakan jilbab saat kuliah saja, di luar itu mereka berpakaian biasa tanpa jilbab.

Sulit Mendapat Pekerjaan?
Bisa jadi pendapat itu ada benarnya. Itulah yang saya alami.
Layaknya seorang lulusan sebuah perguruan tinggi, saya pun ingin segera bekerja dengan gaji yang tinggi, lalu bisa membantu orangtua. Saya termasuk yang harus bersabar dalam waktu yang agak lama untuk mendapatkan pekerjaan tetap.

Setiap proses rekrutmen yang saya ikuti, di saat wawancara terakhir selalu ada pertanyaan, "bagaimana jika Anda harus melepas jilbab Anda saat Anda sudah diterima bekerja di sini?"
Sampai-sampai saya merasa trauma untuk mengikuti proses rekrutmen.
Entahlah mengapa saat itu saya tidak mau menjadi guru atau dosen, saya ingin bekerja di kantor.

Sambil mengisi waktu luang saya mengajar les privat jenjang SMP/SMA. Bermula dari hanya 1 orang berkembang menjadi 10 orang, sehingga waktu saya tidak banyak yang kosong lagi. Pagi hari biasanya saya gunakan untuk mengikuti tes-tes rekrutmen, sore harinya saya mengajar les privat. Rutinitas ini saya jalani kurang lebih 2 tahun. Meskipun beberapa murid saya adalah etnis cina atau beragama lain, mereka tidak mempermasalahkan hijab saya. Yang penting saya bisa transfer ilmu dengan baik, dan mereka menyukai gaya mengajar saya.

Sampai suatu saat saya mengikuti rekrutmen besar-besaran sebuah Bimbel terbesar di Indonesia saat itu, dimana salah satu syaratnya harus bersedia ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia. Tahapan demi tahapan saya lalui dengan lancar, sampai akhirnya saya harus menandatangani sebuah surat keputusan yang menetapkan bahwa saya ditempatkan di kota Denpasar, Bali.

Dikirim ke Pulau Bali
Sebelum keberangkatan saya merasa gamang. Saya yang berhijab ini harus pergi ke Pulau Bali yang mayoritas beragama Hindu? Karena saya belum pernah ke Bali, saya hanya bisa membayangkan kondisi Pulau Bali berdasarkan imajinasi saya sendiri.

Namun karena tekad saya sudah bulat, akhirnya berangkatlah saya ke Pulau Bali dengan penerbangan Surabaya-Denpasar. Saat itu saya diantar Ibu dan salah satu teman kos saya di Surabaya sampai di Bandara Juanda. Lumayan naik pesawat gratis, karena semua sudah dibiayai kantor.

Keberangkatan saya ke Bali ditemani seorang teman saya yang berangkat dari Jogja yang transit di Surabaya, dan selanjutnya kami satu pesawat dari Surabaya ke Bali.

Karena penerbangan sempat delay kami tiba di Bandara Ngurah Rai Bali sudah tengah malam. Selanjutnya kami naik taksi menuju ke alamat kantor cabang tempat kami ditempatkan. Beruntung di sana sudah menunggu OB yang memang sudah menunggu kedatangan kami sejak sore tadi.

Inilah saat pertama saya menginjakkan kaki di Pulau Bali, yaitu bulan Maret 1997.
Bangunan-bangunan khas Bali, Pura, bau harum bunga dan suara musik mengalun dari beberapa Banjar. Ya! Saya sudah tiba di Bali.

Singkat cerita, mulailah saya menjalani hari-hari saya menjadi karyawan PT Primagama Bimbingan Belajar, sebagai I-Smart (Tentor) Tetap. Di sini saya bertugas membantu pemasaran, akademik, dan keuangan. Tugas utama saya adalah mengajar. Ya akhirnya menjadi pengajar juga.
Pada saat itu masih ada 3 Cabang di kota Denpasar, dimana saya juga harus moving mengajar di 3 tempat tersebut.

I Love Bali
Sedikit demi sedikit kegamangan saya berangsur-angsur hilang.
Meskipun saya benar-benar menjadi kaum minoritas, karena saya satu-satunya karyawan dan satu-satunya tentor yang berhijab, semua welcome dan menghormati saya.
Meskipun ketika saya harus ceramah dalam rangka even pemasaran ke sekolah-sekolah negeri yang mayoritas bergama Hindu, tidak sedikit pun saya merasa canggung dengan hijab saya. Saat itu kami melakukan pemasaran hampir di seluruh kabupaten di Bali, seperti Tabanan, Klungkung, Gianyar, Karangasem dan Singaraja. Bahkan meluas sampai ke Mataram, NTB.

Sesekali saat saya belanja di Pasar Tradisional pun saya merasa nyaman-nyaman saja, paling ada beberapa orang melihat dengan tatapan sedikit aneh melihat kerudung saya.

Justru dengan saya berhijab, saya merasa aman dan nyaman. Misalnya ketika saya menghadiri undangan upacara pernikahan teman. Saya otomatis ditunjukkan tempat masakan khusus muslim yang rata-rata terbuat dari ikan laut dan halal.
Foto kenangan jadul saat ke Bedugul, Bali.
Saya merasa betah tinggal di Bali. Di sini benar-benar saya merasakan tingginya toleransi. Kami berbeda suku dan agama, namun kami bisa hidup berdampingan secara damai.
Sampai akhirnya saya menikah, suami saya orang Jogja tetapi bekerja di Bali, dan si Mbarep pun lahir di Bali.

Hijab dan Surat Tilang
Di Denpasar saat itu (tahun 1997 - tahun 2002), pengendara motor yang memakai baju adat tidak diwajibkan mengenakan helm pengaman, termasuk pengendara yang memakai kopyah atau berkerudung.  Tapi hal ini tentu saja menjadi pengecualian bagi saya. Meskipun tidak wajib pakai helm saya selalu mengendarai motor dan berhelm standar SNI lho, hehe.

Ada satu cerita lucu tentang hijab saya.
Waktu itu tahun 2001, dimana si Mbarep masih berusia 2 bulan. Kakak Ipar dan Ibu Mertua saya berkunjung ke Denpasar.

Suatu saat saya mengajak pergi kakak saya naik motor. Tiba-tiba di dekat lampu merah, saya disemprit Pak Polisi. Saya kaget, kenapa saya disuruh berhenti? Padahal jelas saya memakai helm. Ternyata eh ternyata, kakak saya yang lupa tidak pakai helm. Kakak saya juga heran, kenapa dia bisa lupa. Ya namanya juga manusia, lupa itu sudah biasa.

Saat itu kakak saya belum berhijab, jadi harus mengenakan helm ketika berkendara sepeda motor. Akhirnya kami kena tilang.
Dan pak Polisinya bilang, "Harusnya yang pakai helm adalah ibu ini.", kata pak Polisi sambil menunjuk kakak saya. "Mbak kan sudah pakai kerudung, tidak usah pakai helm tidak apa-apa.", lanjut Pak Polisi itu lagi.
Saya sempat bengong!

Ada lagi, ketika saya jalan-jalan di Tanah Lot, saya ketemu bule cewek. Kami berpapasan, tiba-tiba dia berhenti di hadapan saya, lalu memegangi kerudung saya dan berkata, "You look so nice". Saya hanya bisa menjawab, "Thank You." Perasaan hanya dia deh yang bilang saya nice, hihihi.

Itulah sedikit cerita tentang saya dan hijab. Yang jelas saya merasa lebih nyaman dan aman. Selain memang kewajiban bagi seorang muslimah, hijab merupakan identitas bagi saya sebagai seorang muslimah dimana pun saya berada.
-----------------------------------
*****

Wednesday, 3 December 2014

Jangan Panggil Papa!

Pada tahun 2009, saya harus membuat keputusan yang sangat berat, yaitu saya harus rela berpisah sementara (yang bagi saya lama sekali) dengan anak-anak saya. Saya harus mendampingi suami yang bertugas di Bali, tepatnya di Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Di sini saya juga bekerja dan harus mengajukan mutasi dari Mojokerto ke Negara. Alhamdulillah bisa.

Kami putuskan anak-anak dititipkan ke Mbah Uti (nenek)-nya. Kebetulan Ibu saya tinggal bersama Bulik (adiknya Ibu), nenek saya, dan adik saya. Yang terpenting, mereka bersedia dititipi anak-anak saya. Agar tidak begitu merepotkan kami menitipkan si sulung Dani (8 tahun) dan si bungsu Ai (2 tahun), sementara anak nomor 2, Ony (6 tahun), ikut kami ke Bali. Pertimbangan kami si anak nomor 2 ini aktif sekali, dan anak
 yang nomor 3 daya tahan tubuhnya kurang bagus. Kami khawatir dia tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Apalagi rencana kami, saya di Bali hanya 1 tahun saja, setelah itu saya akan mengajukan mutasi ke Tulungagung saja.

Berpisah dengan 2 anak saya, ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Saya yang sudah terbiasa berkumpul dengan anak-anak, merasa ada sesuatu yang hilang. Sungguh suatu siksaan bagi saya ketika malam hari sepulang dari tempat kerja. Saya kangen suara ribut ketiga anak saya. Saya kangen rengekan si kecil yang minta dibuatkan susu. Saya kangen sekali. Terkadang kami bertiga sambil tiduran mengenang cerita-cerita lucu anak-anak sambil melihat foto-foto dan video yang kami save di handphone. Tidak terasa air mata selalu meleleh, yang diikuti rasa rindu sampai kami tertidur dan berharap bisa bermimpi bersama-sama lagi.

Sebulan sekali saya selalu menyempatkan diri untuk pulang menjenguk 2 anak saya. Saat yang ditunggu-tunggu adalah sambutan kedua anak saya ketika saya sampai di rumah ibu saya. Kami berpelukan melepas kerinduan. Namun, ada satu hal yang sangat menusuk hati saya, yaitu saat si bungsu memanggil saya dengan sebutan "papa". Ya, saya yang seharusnya dipanggilnya "mama" dipanggil dengan sebutan "papa". Hal ini terjadi bisa jadi karena kami hanya berhubungan via telepon saja, sehingga Adik Ai jadi bingung membedakan "mama" atau "papa".

Sudah bisa ditebak, saat paling merana bagi saya adalah saat saya harus segera kembali ke Bali setelah beberapa hari melepas kerinduan dengan mereka. Air mata ini tidak pernah berhenti keluar sampai saya menginjak kota Surabaya. Biasanya saya menumpang kereta api jurusanTulungagung-Surabaya, kemudian lanjut Surabaya-Banyuwangi yang harus berganti kereta di Surabaya. 

Akhirnya saya hanya bertahan 10 bulan saja. Saya dan suami harus (segera) mengambil keputusan bahwa saya harus segera pulang dan berkumpul dengan anak-anak (kembali). Menurut suami saya, anak-anak harus bertumbuh dan berkembang dengan didampingi kedua orangtuanya. Minimal harus didampingi ibunya. Sedangkan suami, biarlah suami saya yang sementara berpisah dengan keluarga tercinta untuk mencari nafkah, karena memang sudah kewajiban seorang laki-laki terhadap keluarganya. Dan, saya tidak mau lagi dipanggil "papa". Sakit rasanya, sungguh sakit.

Bulan Mei 2010 saya (dan Ony) pulang ke Tulungagung dan kembali berkumpul dengan anak-anak. Setelah kami berkumpul, Adik Ai berangsur-angsur pulih kepercayaannya kepada saya. Karena selama 10 bulan saya tinggal, dia selalu bersama Tantenya (adik saya), sehingga untuk memulihkan kepercayaannya kembali, saya butuh waktu yang agak lama. Kurang lebih 1 bulan setelah saya pulang, tepatnya bulan Juni 2010 si Adik Ai sudah kembali memanggil saya dengan sebutan "mama". Tapi butuh waktu 1 tahun untuk Adik Ai bisa mau kembali tidur dengan saya.
Ya Allah, saya sangat merasa bersalah telah meninggalkan dia selama 10 bulan. Sekarang, saya sangat bersyukur, saya selalu ada ketika anak-anak membutuhkan saya. Tinggal satu harapan kami, semoga keluarga kami kembali bersatu dalam kebahagiaan.

*****

Tulisan ini diikutsertakan dalam
*****

Friday, 19 September 2014

Belanja dengan Permen Kembalian

Sumber: disini
Baca potongan percakapan yang ada di selembar komik Mak Irits saja (seperti gambar di atas) sudah bikin ngakak, apalagi kalau beli dan baca bukunya secara full ya? Dijamin bisa tertawa terpingkal-pingkal sambil ngelus dada karena cerita si Mak Irits ini selalu bikin gemes. Ini orang ngiritnya kebablasan, hahaha.

Kejadian seperti gambar di atas pernah aku alami lho, cuma gak sebegitunya, masak kembalian permen bisa untuk beli minyak goreng sama telur :p

Ceritanya begini, tujuhbelas tahun silam, ketika saya masih single dan masih menjadi seorang wanita bekerja kantoran, karena rutinitas pekerjaan yang saya jalani dari Senin sampai Sabtu, Minggu pun terkadang masuk, membuat saya kadang-kadang stress (baca= butuh sedikit refreshing). Karena saya tinggal di Bali (saat itu) biasanya refreshingnya adalah pergi ke tempat-tempat wisata yang belum pernah saya kunjungi, seperti ke Sanur, Kuta, Sukawati, Kintamani, Besakih, Nusa Dua, sesekali ke Singaraja atau Bedugul, itupun bareng teman-teman kantor, karena saya di sana adalah perantau dan tidak punya komunitas lain selain teman kantor. Yah, agak kuper-kuper gitu.

Tapi untuk acara me time, saya memilih untuk sekedar nonton televisi saja di kos, atau memilih jalan-jalan di seputaran kota Denpasar. Aktifitas yang paling sering saya lakukan adalah ngemall. Tempat yang saya pilih adalah Matahari, Ramayana, atau sekedar belanja di Tiara Dewata. Saya jalan-jalannya hanya sendirian lho, maklum belum punya pacar, hehe. Kadang-kadang bareng teman kantor juga sih, teman cewek, cuma seringnya ya jalan sendirian. Biasanya saya hanya berkeliling dan melihat-lihat saja, entah itu baju, tas, kaset (kaset yang masih pakai pita yang digulung ituh :p, kelihatan banget jadulnya), atau barang-barang lainnya. Dan biasanya pula, pasti ada aja barang yang kebeli, maklum pada saat itu saya masih sendiri dan belum begitu banyak anggaran. Beda dengan kondisi sekarang, semua anggaran harus sudah mulai ditata di awal bulan biar tidak defisit di akhir bulan. Persis sama konsep hidupnya Mak Irits (peace ya Mak). Sekalian curhat ini, hihihi.

Lanjut yaa ceritanya...
Tempat belanja favorit saya ya di Tiara Dewata itu. Tiara Dewata adalah nama sebuah supermarket dan department store yang dilengkapi sarana mainan dan pujasera yang lengkap dan berlokasi di Denpasar. Konon pemiliknya berasal dari Malang, Jawa Timur. Di sini, setiap kita belanja selalu mendapat reward berupa poin untuk pembelanjaan dengan kelipatan nominal tertentu, yang nantinya poin-poin itu bisa ditukar dengan hadiah-hadiah yang menarik, mulai dari peralatan dapur plastik yang sederhana sampai barang elektronik seperti kipas angin, vcd, televisi, mesin cuci, sampai microwave. Yang unik, setiap kembalian recehan kadang diganti dengan permen, tapi bukan permen sembarangan lho, permennya khas yaitu permen jeruk yang di dalamnya seperti ada busanya yang rasanya asem-asem enak. Kalau gak salah saat itu dihargai Rp.100,- per bijinya.

Suatu saat saya sedang belanja, dan saya dapat kembalian beberapa buah permen. Karena sekalian ngirit ongkos, saya makan di lokasi pujaseranya. Saat saya membayar ternyata hanya kurang beberapa ribu rupiah saja, sayang kalau ngeluarin uang besar, dengan iseng saya ngomong sama mbak kasirnya, "boleh gak dibayar dengan permen kembalian? kan dapetnya juga dari belanja di sini". Swear! Saya tadi sebenarnya hanya iseng saja, karena menurut perkiraan saya pasti gak boleh bayar pakai permen. Eh, di luar dugaan, ternyata mbak kasir menjawab, "iya, gak papa Mbak, nanti tinggal dihitung aja permennya ada berapa biji". Akhirnya untuk melengkapi pembayaran saya, saya tinggal mengeluarkan permen-permen kembalian yang ada di tas saya. Ternyata permen kembalian bisa juga dipakai untuk belanja lagi. Dan akhirnya sayapun melakukannya lagi beberapa kali dalam kesempatan berikutnya.

Itulah sekelumit cerita saya tentang permen kembalian yang ternyata bisa dipakai belanja lagi. Saya kurang tahu persis apakah di tempat lain juga memberlakukan hal yang sama seperti yang saya alami di Tiara Dewata, Denpasar, Bali ini. Yang saya tahu mah, kembalian yang nominalnya di bawah Rp.500,- biasanya tanpa konfirmasi kepada pembeli langsung diganti permen, atau ada swalayan yang mengonfirmasikan untuk disumbangkan ke yayasan. Menurut saya sebagai Mak Irits, alangkah bijaksananya jika kembalian di bawah Rp.500,- tetap diberikan uang receh, toh kalau untuk urusan menyumbang ke yayasan kita juga pasti sudah punya kebijaksanaan dan cara sendiri.
*****


*****